Mempertanyakan Hak

Apakah boleh seorang manusia rendah mempertanyakan hak yang paling mendasar kepada penguasa ketika kewajibannya sudah lengkap? Meski terkadang tidak semuanya sempurna, tapi yang jelas hampir semuanya selesai sebagaimana adanya. Pertanyaan bodoh, jawabnya. Terserah dia mau kapan memberikan hak itu kepadamu, namanya saja penguasa. Lagi pula belum tentu semua yang dikerjakan diterima. Kamu saja tidak pernah membaca detail apa yang menjadi pantangan & kemestian kan?! Hanya kulit luarnya saja, akui saja apa susahnya?  Benar, aku mengakuinya. Namun aku belum pernah lagi menikmati hal itu sejak lima tahun terakhir, jadi bolehkah? Sang Penguasa sepertinya tertawa datar mendengar pertanyaan bodoh itu lagi. Aku menghembuskan napas berat ke sekian kalinya yang membuatku siuman dan bermenung. Ini memang belum saatnya, ibarat tanggal main yang masih jauh dari kata tulat dan tubin. Apa yang harus dilakukan? Sejatinya tidak ada. Daya upaya sudah, bermohon sudah, tinggal tunggu tanggal mainnya dat

Bulevar

KBBI daring menuliskan arti kata bulevar adalah sebagai jalan raya yang lebar, yang biasanya dengan deretan pohon di kiri-kanannya. Boulevard asal katanya dari Prancis, seperti terdengar mewah ya kalau langsung diambil dari bahasa tersebut. Dan ternyata di bahasa kita sendiri disebut dengan adimarga. Saya baru tau nih, hehehe. Alhamdulillah nambah lagi kosakata baru. Namun, bukan kata secara harfiah tersebut yang akan saya bahas di postingan kali ini.

Ngomong-ngomong soal jalanan, saya tipe orang yang senang memperhatikan jalanan serta isinya ketika sedang jalan kaki, bawa motor atau nyetir mobil. Sesekali saya mengeluarkan ponsel untuk memotret sekilas sesuatu yang bagi saya menarik untuk diabadikan. Misalnya para pasukan oranye yang sedang nyebur di got untuk membersihkan sampah supaya aliran got kembali lancar, atau trotoar yang dipenuhi dengan pedagang kaki lima yang tetap menjadi favorit karyawan kantoran saat makan siang, atau dokar yang sedang melintas di bulevar dengan pernak-pernik budaya Betawi. Semuanya bervariasi. Membuat saya senang dan tenang.

Melihat bulevar juga membuat saya jadi semangat untuk berjuang. Berjuang untuk sebuah tujuan yang diimpikan, karena semua orang yang tengah berada di bulevar pasti punya sebuah tujuan yang ingin dicapai dalam waktu tertentu. Misal, seseorang ingin pindah dari titik A ke titik C dengan melakukan sebuah perjalanan melewati bulevar. Atau seorang tukang parkir di pinggir trotoar, sejatinya dia bekerja pasti dengan tujuan membawa pulang rezeki untuk hari itu, mungkin dibagi ke keluarganya di rumah.

Bulevar juga selalu berhasil membuat saya ingat pulang. Pulang ke rumah. Tempat istirahat dari penatnya kegiatan yang dilakukan seharian. Kalau sudah di rumah, rasa capek bisa dihilangkan dengan rebahan di depan TV atau di kamar. Bisa dengan mandi, minum segelas air putih, lalu mendengarkan musik favorit, dan terlelap setelah sholat Isya. Orang yang terjebak macet can relate, karena ga betah di kemacetan dan bawaannya pengen udah di rumah. 

Bulevar mengajarkan saya untuk tidak terburu-buru. Mungkin karena udah terbiasa kena macet ibu kota, jadinya segala sesuatu tidak harus dilakukan dengan terburu-buru. Kalau terbiasa kena macet di jalan tertentu bisa diakali dengan jadwal berangkat yang lebih awal. Saya sedang giat belajar bagaimana cara hidup tidak terburu-buru. Mengasyikkan lho sebenarnya. Pikiran jadi tidak capek karena harus memikirkan banyak hal dalam satu menit. Cukup kerjakan satu pekerjaan sampai selesai baru dilanjutkan dengan kerjaan yang lain. As simple as that. 

Ada ribuan wajah dengan ekspresi beragam yang saya temui saat berada di jalanan (gang, jalan raya, bulevar, dan jalan layang). Melihat pedagang asongan yang menjajakan barangnya di lampu merah dengan semangat; melihat perempuan berjilbab yang menyeberang di zebra cross dengan panik; supir taksi yang mengelap keringatnya dengan handuk kecil; anak sekolah yang baru turun dari jembatan penyeberangan dengan energi yang masih penuh; ibu-ibu yang turun dari angkot dengan menggendong anaknya yang sedang tersenyum; kompleks! Semua hal itu menyadarkan saya kalau hidup itu memang suatu perjuangan. Jika sedang sedih, saya suka berjalan di perkotaan untuk sekadar melihat banyaknya orang yang sedang berjuang untuk hidup mereka. Saya tidak sendiri kok dalam berjuang untuk hidup, ada banyak yang tetap semangat seperti orang yang saya lihat di jalanan itu. Hasilnya semangat saya jadi berkobar lagi. It's magical!

Itu kenapa sebagian besar foto-foto saya di Instagram adalah momen-momen di jalanan. 

Komentar

  1. Bulevar ini dah lama dengernya apalagi bagi orang teknik perencanaan hehe

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Makasih udah mampir ke sini, penulis andal.

      Hapus
  3. Kadang memang perlu diingatkan kalau kita tidak berjuang hidup sendirian

    BalasHapus

Posting Komentar

silahkan dikomen.... jelek2 jg gpp...
ga marah kok, paling gue jampi2 ntar malamnya...
hahahaha...

Postingan populer dari blog ini

Tentang Malam di Pekan Budaya Sumatera Barat part. I

Tujuh dan Sembuh

Pengalaman Latsar tapi Tidak Rasa Latsar